Rabu, 26 Desember 2012

Pengrajin Gamelan Jawa Yogyakarta

KAMI PENGRAJIN GAMELAN JAWA  DI YOGYAKARTA

Bagi anda yang berminat memesan seperangkat Gamelan slendro/pelog,yang terbuat dari bahan
besi,kuningan atau perunggu,silahkan datang atau huubungi kami yang berwilayah Bantul Yogyakarta.

Kami adalah satu-satunnya pengrajin Gamelan terbesar diYogyakarta yang telah berdiri selama 30 tahun.
Layanan penjualan gamelan jawa kami tidak hanya di wilayah kota-kota diseluruh Indonesia,bahkan kami telah Ekspor ke berbagai negara seperti Belanda,Amerika,Jepang dan berbagai negara lainya.

Kami juga mempunyai kapasitas yang besar dalam pelayanan order, kami pernah            menyelesaikan 14 set gamelan dalam 1bulan yang kami irim keberbagai dinas dan sekolahan diwilayah Indonesia.

Layanan kami meliputi:
  1. .Jual  separangkat gamelan slendro dan pelog dengan ukir/polos.
  2. .Tukar tambah gamelan lama   anda dengan yang baru
  3. .Stem / nglaras(bahasa jawa) nada  gamelan anda yang kurang bagus menjadi laras/bagus.
  4. .Terima reparasi gamelan lama,termasuk ukir dan   finishing.
Untuk kisaran harga gamelan menurut bahannya :
-Bahan besi berkisar 65-90 juta
-Bahan kuningan berkisar 170-200 juta
-Bahan perunggu 300-450 juta

Jika anda berminat silahkan hubungi marketing kami :

Nama    : Gandung Dwi Ismaun
No.telp : 0817161149
Alamat  :   Srandakan Bantul Yogyakarta.
                   Jl.Srandakan Km.2, utara pasar Mangiran.

Gamelan Jawa Tengah dan Yogyakarta

Gamelan Jawa Tengah dan Yogyakarta

Seperangkat Gmelan
Seperangkat Gamelan
Gamelan Orkestra adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan. Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa).
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Untuk daerah Sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta umumnya gamelan terdiri dari 2 pangkon (jenis) yakni Slendro dan Pelog yang mempunyai titi nada yang berbeda. Slendro pada dasarnya adalah nada mendekati minor sedangkan Pelog menghasilkan nada yang cenderung mendekati nada diatonis. Berikut ini Seperangkat gamelan Jawa yang umumnya dibunyikan di Jawa Tengah umumnya, diantaranya :
1. Kendang
Kendang merupakan alat musik ritmis (tak bernada) yang berfungsi mengatur irama dan termasuk dalam kelompok “membranofon” yaitu alat musik yang sumber bunyinya berasal dari selaput kulit atau bahan lainnya.
Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang denga orang lain maka akan berbeda nuansanya.
Menurut bukti sejarah, kelompok  membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang. Istilah ‘padahi’ tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Seperti yang tertulis pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960), istilah tersebut terus digunakan sampai dengan jaman Majapahit.
Penyebutan kendang  dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai macam bentuk, ukuran serta bahan yang digunakan, antara lain : kendang berukuran kecil, yang pada arca dilukiskan sedang  dipegang oleh dewa , kendang ini disebut “damaru“.
Kendang
Kendang

2. Rebab
Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Menyebar di daerah Jawa barat, Jawa Tengah & Jawa Timur. Rebab terbuat dari bahan kayu dan resonatornya ditutup dengan kulit tipis, mempunyai dua buah senar/dawai dan mempunyai tangga nada pentatonis. Alat musik yang menggunakan penggesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka (umumnya)dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.
Instrumen musik tradisional lainnya yang mempunyai bentuk seperti rebab adalah Tehyan yang resonatornya terbuat dari tempurung kelapa, rebab jenis ini dapat dijumpai di DKI Jakarta, Jawa dan Kalimantan Selatan
Untuk daerah Jawa Tengan dan Yogyakarta, lazimnya Instrumen ini terdiri dari kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi.
Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan.
Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing. Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.
Rebab
Rebab

3. Balungan
Yaitu alat musik berbentuk Wilahan (Jawa : bilahan) dengan enam atau tujuh wilah (satu oktaf ) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator yang ditabuh dengan menggunakan tabuh dari kayu.
Dalam memainkan Balungan ini, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet)
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis Balungan :
a. Demung, Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah. Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas. Lazimnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung. Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.
Demung
Demung
 
b. Saron, Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi. Seperti demung,  Saron memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua Saron, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dari dua saron.
Saron
Saron
 
c. Peking, Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi. Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.
Peking
Peking

d. Slenthem, Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender; malahan kadang-kadang ia dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron;
Ia beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron (balungan). Seperti demung dan saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
Slenthem merupakan salah satu instrumen gamelan yang terdiri dari lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema yang mengikuti nada saron, ricik, dan balungan bila ditabuh. Seperti halnya pada instrumen lain dalam satu set gamelan, slenthem tentunya memiliki versi slendro dan versi pelog. Wilahan Slenthem Pelog umumnya memiliki rentang nada C hingga B, sedangkan slenthem slendro memiliki rentang nada C, D, E, G, A, C’. Cara memainkan :
Cara menabuh slenthem sama seperti menabuh balungan, ricik, ataupun saron. Tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri melakukan “patet”, yaitu menahan getaran yang terjadi pada lembaran logam. Dalam menabuh slenthem lebih dibutuhkan naluri atau perasaan si penabuh untuk menghasilkan gema ataupun bentuk dengungan yang baik. Pada notasi C, D, E, G misalnya, gema yang dihasilkan saat menabuh nada C harus hilang tepat saat nada D ditabuh, dan begitu seterusnya.
Untuk tempo penabuhan, cara yang digunakan sama seperti halnya bila menggunakan balungan, ricik, dan saron. Namun untuk keadaan tertentu misalnya demung imbal, maka slenthem dimainkan untuk mengisi kekosongan antara nada balungan yang ditabuh lambat dengan menabuh dua kali lipat ketukan balungan. Atau bisa juga pada kondisi slenthem harus menabuh setengah kali ada balungan karena balungan sedang ditabuh cepat, misalnya ketika gendhing Gangsaran.
Slenthem
Slenthem


4. Bonang
Alat musik ini terdiri dari satu set sepuluh sampai empat-belas gong- gong kecil berposisi horisontal yang disusun dalam dua deretan, diletakkan di atas tali yang direntangkan pada bingkai kayu. Pemain duduk di tengah-tengah pada sisi deretan gong beroktaf rendah, memegang tabuh berbentuk bulat panjang di setiap tangan.
Ada tiga macam bonang, dibeda-bedakan menurut ukuran, wilayah oktaf, dan fungsinya dalam ansambel. Untuk gamelan Jawa, bonang disini ada 2 jenis yakni Bonang Barung dan Bonang Penerus/ Penembung
Bonang
Bonang


Dalam gamelan Jawa Tengah ada tiga jenis bonang yang digunakan:
a. Bonang Panerus
adalah yang tertinggi dari mereka, dan menggunakan ketel terkecil. Pada umumnya mencakup dua oktaf (kadang-kadang lebih dalam slendro di Solo instrumen-gaya), seluas sekitar kisaran yang sama dengan saron dan peking gabungan. Ia memainkan irama tercepat bonang itu, saling layu dengan atau bermain di dua kali kecepatan dari bonang barung.
b. Bonang Barung
yang bernada satu oktaf di bawah bonang panerus, dan juga secara umum mencakup dua oktaf, kira-kira kelas yang sama dengan demung dan saron gabungan. Ini adalah salah satu instrumen yang paling penting dalam ansambel tersebut, karena banyak memberikan isyarat untuk pemain lain dalam gamelan.
c. Bonang Panembung
adalah nada terendah. Hal ini lebih umum di Yogyakarta gamelan gaya, seluas sekitar kisaran yang sama dengan slenthem dan demung gabungan. Ketika hadir dalam gaya gamelan Solo, mungkin hanya memiliki satu baris dari enam (slendro) atau tujuh ceret terdengar dalam daftar yang sama dengan slenthem. Hal ini dicadangkan untuk repertoire yang paling keras, biasanya memainkan bentuk lain dari balungan .
Bagian yang dimainkan oleh bonang barung dan bonang panerus lebih kompleks dibandingkan dengan banyak instrumen gamelan, sehingga, secara umum dianggap sebagai instrumen mengelaborasi . Kadang-kadang memainkan melodi berdasarkan balungan , meskipun umumnya diubah dengan cara yang sederhana. Namun, juga bisa memainkan pola yang lebih kompleks, yang diperoleh dengan menggabungkan dan panerus patters barung, seperti saling silih bergantinya bagian ( imbal ) dan interpolasi pola melodi jerau ( Sekaran ).
5. Kenong
Kenong merupakan unsur instrumen pencon gamelan yang paling gemuk, dibandingkan dengan kempul dan gong yang walaupun besar namun berbentuk pipih. Kenong ini disusun pada pangkon berupa kayu keras yang dialasi dengan tali, sehingga pada saat dipukul kenong tidak akan bergoyang ke samping namun dapat bergoyang ke atas bawah, sehingga menghasilkan suara. Bentuk kenong yang besar menghasilkan suara yang rendah namun nyaring dengan timber yang khas (dalam telinga masyarakat Jawa ditangkap berbunyi ning-nong, sehingga dinamakan kenong). Dalam gamelan, suara kenong mengisi sela-sela antara kempul.
Gamelan ini merupakan instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong, atau kenongan.
Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing;ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan;dan boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing; atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa pathet.
Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.
Kenong
Kenong

6. Kethuk
Dua instrumen jenis gong sebesar kenong, berposisi horisontal ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu yang berfungsi memberi aksen-aksen alur lagu gendhing menjadi kalimat kalimat yang pendek.
Pada gaya tabuhan cepat lancaran, sampak, srepegan, dan ayak ayakan, kethuk ditabuh di antara ketukan ketukan balungan, menghasilkan pola-pola jalin-menjalin yang cepat.
Kethuk - Kempyang
Kethuk – Kempyang

7. Gambang
Merupakan Instrumen mirip keluarga balungan yang dibuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator.
Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih.
Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu/ batang fiber lentur. Pada seperangkat instrumen gamelan yang lengkap terdapat 3 buah gambang, yakni gambang slendro, gambang pelog bem, dan gambang pelog barang. Namun tidak sedikit yang terdiri hanya dua buah instrumen saja. Pada gambang pelog, nada 1 dan 7 dapat disesuaikan dengan gendhing yang akan dimainkan.
Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg.
Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu dengan ritme – ritme sinkopasi seperti pada gendhing Janturan/ Suluk.
Gambang
Gambang


8. Gender
Sama dengan Kendang, Gender ini kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa.
Instrumen mirip Slenthem namun dengan wilahan lebih kecil, terdiri dari bilah-bilah metal (Perunggu, Kuningan atau Besi) ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator.
Gender ini dimainkan dengan 2 tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek.
Sama halnya dengan Gambang Pada seperangkat instrumen gamelan yang lengkap terdapat 3 buah Gender, yakni Gender slendro, Gender pelog bem, dan Gender pelog barang.
Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender:
a. Gender Barung
Gender berukuran besar, beroktaf rendah sampai tengah. Salah satu dari instrumen pemuka, gender barung memainkan pola-pola lagu berketukan ajeg (cengkok) yang dapat menciptakan tekstur sonoritas yang tebal dan menguatkan rasa pathet gendhing.
Beberapa gendhing mempunyai pembuka yang dimainkan gender barung; gendhing-gendhing ini dinamakan gendhing gender.
Dalam pertunjukan wayang, pemain gender mempunyai peran utama harus memainkan instrumennya hampir tidak pemah berhenti selama semalam suntuk dalam permainan gendhing, sulukan, dan grimingan.
Gender Barung
Gender Barung
Doc. Source :

b. Gender Panerus
Gender berukuran lebih kecil, beroktaf tengah sampai tinggi. Meskipun instrumen mi tidak harus ada dalam ansambel, kehadirannya menambah kekayaan tekstur gamelan lebih kepyek. Gender ini memainkan lagunya dalam pola lagu ketukan ajeg dan cepat.
Gender Penerus
Gender Penerus

Rumus untuk menabuh gender ini terdiri kurang lebih 12 cara, yaitu :
1) Tabuhan gendèr gembyang mbukak
2) Tabuhan gendèr gembyang nutup
3) Tabuhan gendèr gembyang minggah
4) Tabuhan gendèr gembyang mandha
5) Tabuhan gendèr kempyung mbukak
6) Tabuhan gendèr kempyung nutup
7) Tabuhan gendèr kempyung minggah
8.) Tabuhan gendèr kempyung mandhap
9) Tabuhan gendèr gantungan gembyang
10) Tabuhan gendèr gantungan kempyung
11) Tabuhan gendèr mipil
12) Tabuhan gendèr imbal (untuk lancaran, srepeg, palaran)
Untuk rumus lebih jelas silahkan klik tautan berikut :

9. Siter
Siter merupakan instrumen yang dimainkan dengan dipetik, terbuat dari kayu berbentuk kotak berongga yang berdawai. Pada umumnya site mempunyai dua belas nada, yaitu dari kiri ke kanan: 2, 3,5,6,1,2,3,5,6,1,2,3. (contoh untuk siter slendro).
Ciri khasnya satu senar disetel nada pelog dan senar lainnya dengan nada slendro. Umumnya sitar memiliki panjang sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam sebuah kotak ketika dimainkan. Siter dimainkan sebagai salah satu dari alat musik yang dimainkan bersama (panerusan), sebagai instrumen yang memainkan cengkok (pola melodik berdasarkan balungan). Siter dimainkan dengan kecepatan yang sama dengan gambang (temponya cepat).
Cara memainkannya dengan ibu jari, sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan. Jari kedua tangan digunakan untuk menahan, dengan jari tangan kanan berada di bawah senar sedangkan jari tangan kiri berada di atas senar.
Siter dengan berbagai ukuran adalah instrumen khas Gamelan Siteran, meskipun juga dipakai dalam berbagai jenis gamelan lain.
Siter
Siter

10. Kempul
Kempul merupakan salah satu perangkat gamelan yang ditabuh, biasanya digantung menjadi satu perangkat dengan Gong (mirip dengan Gong tapi lebih kecil) dengan jumlah tergantung dengan jenis pagelarannya, sehingga tidak pasti. Kempul menghasilkan suara yang lebih tinggi daripada Gong, sedangkan yang lebih kecil akan menghasilkan suara yang lebih tinggi lagi.
Dalam hubungannya dengan lagu gendhing, kempul bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan; kadang-kadang kempul mendahului nada balungan berikutnya; kadang-kadang ia memainkan nada yang membentuk interval kempyung dengan nada balungan, untuk menegaskan rasa pathet.
Kempul
Kempul

11. Suling
Suling bambu yang memainkan lagu dalam pola-pola lagu bergaya bebas metris. Alat ini dimainkan secara bergantian, biasanya pada waktu lagunya mendekati akhiran kalimat atau kadang – kadang dimainkan pada lagu-lagu pendek di permulaan atau di tengah kalimat lagu.
Suling
Suling

12. Gong
Sebuah kata benda yang merujuk bunyi asal benda, kata gong khususnya menunjuk pada gong yang digantung berposisi vertikal, berukuran besar atau sedang, ditabuh di tengah-tengah bundarannya (pencu) dengan tabuh bundar berlapis kain.
Gong menandai permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang.
Seperangkat Gong (termasuk Kempul)
Seperangkat Gong (termasuk Kempul)

Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu, sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan. Ada dua macam gong :
a. Gong Ageng
Gong gantung besar, ditabuh untuk menandai permulaan dan akhiran kelompok dasar lagu (gongan) gendhing.
    b. Gong Suwukan
Gong gantung berukuran sedang, ditabuh untuk menandai akhiran gendhing yang berstruktur pendek, seperti lancaran, srepegan, dan sampak.
13. Keprak
Keprak adalah suatu alat berbentuk lembaran yang terbuat dari perunggu atau besi dengan ukuran kira-kira 20 x 27 cm, terdiri beberapa lempengan, diberi lobang pada bagian atasnya dan diberi seutas tali, digantung pada kotak wayang dengan tatanan sedemikian rupa sehingga bila di pukul akan menimbulkan efek bunyi “prak-prak”.
Dalam gelaran wayang kulit gagrak Surakarta, keprak terdiri minimal 3 buah, ada yang 4 buah dan 5 buah. Sedangkan untuk pakeliran Gaya Yogyakarta keprak hanya terdiri dari satu lempengan besi saja yang di landasi dengan kayu seukuran keprak, dipukul dengan cempala besi yang di jepit oleh kaki seorang dalang sehingga menghasilkan efek bunyi “ting-ting”.
Agar menghasilkan suara keprak yang bagus seorang dalang harus tahu teknik memasang keprak dan teknik membunyikan keprak dengan baik. Keprak dalam pakeliran biasanya untuk mengiringi gerakan wayang serta untuk memantabkan solah (gerak) wayang. Dalang wayang kulit gagrak Surakarta saat ini lebih memilih keprak berbahan besi putih beberapa lembar di kombinasi dengan keprak perunggu beberapa lembar, yang di yakini mempunyai efek suara lebih nyaring.
Keprak
Keprak

Kurang lebih seperti dijelaskan di atas Seperangkat Gamelan yang ada di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta. Adapun yang belum disebutkan seperti Tambur/ Bedug merupakan instrumen Tambahan dalam pagelaran. Masukan dari rekan-rekan blog sangat dinanti.

Gamelan jawa, sejarah dan misteri

Gamelan jawa, sejarah dan misteri

gamelan jawa solo dan jogjaAlat musik tradisional yang bernama Gamelan berasal dari budaya Jawa, yang sekarang masih dilestarikan di kalangan Keraton Yogyakarta dan Surakarta (Solo)
GAMELAN JAWA DAN GENERASI MUDA

1. Perkembangan Seni Karawitan
Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya yang diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara hipotetis, sarjana J.L.A. Brandes (1889) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan. Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai sejarah yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatanya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya. Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini, siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001).
Gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 10 – 15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang, rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai kawat yang dipetik bernama siter atau celepung.
Gamelan Jawa mempunyai tanggapan yang luar biasa di dunia internasional. Saat ini telah banyak diadakan pentas seni gamelan di berbagai negara Eropa dan memperoleh tanggapan yang sangat bagus dari masyarakat di sana. Bahkan sekolah-sekolah di luar negeri yang memasukan seni gamelan sebagai salah satu musik pilihan untuk dipelajari oleh para pelajarnya juga tidak sedikit. Tapi ironisnya di negeri sendiri masih banyak orang yang menyangsikan masa depan gamelan. Terutama para pemuda yang cenderung lebih tertarik pada musik-musik luar yang memiliki instrumen serba canggih. Dari sini diperlukan suatu upaya untuk menarik minat masyarakat kepada kesenian tradisional yang menjadi warisan budaya bangsa tersebut.
2. Fungsi sosial Gamelan Jawa
Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan erat dengan perkembangan religi yang dianutnya.
Pada masyarakat jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Gamelan memiliki keagungan tersendiri, buktinya bahwa dunia pun mengakui gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Gamelan merupakan alat musik yang luwes, karena dapat berfungsi juga bagi pendidikan.

3. Pewarisan Gamelan Jawa kepada Generasi Muda
Pada masa sekarang ini ada kecenderungan perbedaan persepsi yang dilakukan oleh generasi-generasi muda melalui berbagai atraksi kebudayaan yang pada segi-segi lain kelihatan agak menonjol, tetapi ditinjau dari segi yang lain lagi merupakan kemunduran, terutama yang menyangkut gerak-gerak tari dan penyuguhan gendhing-gendhing yang dikeluarkan.
Anak muda terlihat tak tertarik gamelan karena tidak ada yang mengenalkan. Selain itu tidak ada yang mengajarkan. Itu tidak bisa disalahkan karena mayoritas orang tua, bahkan lingkungan sekolah, tidak mendukung anak mengenal gamelan. Bagi generasi muda, gamelan sulit diminati kalau dibunyikan seperti masa-masa dulu pada era orang tua atau kakek dan nenek mereka. Anak muda sekarang lebih menyukai jika membunyikan gamelan sesuka mereka dan dipasangkan dengan alat musik dan seni apa saja. Walaupun begitu, lewat cara-cara inilah gamelan mendapat jalan untuk lestari. Gamelan bukan sekadar alat musik tradisional atau obyek, namun ada spirit di dalamnya, yakni kebersamaan. Yang penting di sini adalah manusianya, yaitu bagaimana mereka merasa dekat dengan gamelan.
Perlu dipikirkan pula demi kelestarian kebudayaan kita sendiri yang sungguh-sungguh Adhi Luhur, penuh dengan estetika, keharmonisan, ajaran-ajaran, filsafat-filsafat, tatakrama, kemasyarakatan, toleransi, pembentukan manusia-manusia yang bermental luhur, tidak lepas pula sebagai faktor pendorong insan dalam beribadah terhadap Tuhan, yaitu dengan sarana kerja keras dan itikat baik memetri atau menjaga seni dan budaya sendiri. Jangan sampai ada suatu jurang pemisah atau gap dengan sesepuh yang benar-benar mumpuni (ahli). Bahkan komunikasi perlu dijaga sebaik-baiknya dengan sesepuh sebagai sumber atau gudang yang masih menyimpan berbagai ilmu yang berhubungan dengan masalah kebudayaan itu sendiri, terutama para empu-empu karawitan, tari dsb.

MISTERI GAMELAN SEKATEN SOLO DAN JOGJAKARTA

Sejarah tradisi Sekaten yang bergulir sejak zaman Majapahit hingga kini, menyisakan misteri besar seputar Gamelan Sekaten yang dipercaya bertuah. Pasalnya, Kraton Solo dan Jogja yang kini masih bertahan, masing-masing memiliki sepasang Gamelan Sekaten. Manakah yang asli dari zaman Majapahit dan Demak Bintoro?


POSMO-Ketika tampuk kekuasaan dari Demak Bintoro berpindah ke Pajang Hadiningrat, Gamelan Sekaten sebagai pusaka kerajaan juga ikut berpindah tangan. Peralihan zaman dari Demak ke Pajang ini juga menghentikan pelaksanaan tradisi sekaten, karena situasi perang dan kekacauan. Tidak ditemukan catatan mengenai sekaten di zaman Sultan Hadiwijaya, yang naik tahta di Pajang pada tahun 1550 Masehi. Namun dimungkinkan adanya gelar tradisi sekaten itu di Pajang, karena masa pemerintahan Pajang yang gemah ripah loh jinawi, selama kurang lebih 40-an tahun.

Di penghujung masa kejayaan Pajang, tlatah Mataram Hadiningrat didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan pada 1586 Masehi. Terletak di pinggiran Kali Opak yang disebut alas (hutan) Mentaok. Tlatah ini adalah pemberian Sultan Hadiwijaya atas keberhasilan Pemanahan membunuh Arya Penangsang. Pada tahun-tahun selanjutnya, pamor Pajang mulai surut. Sebaliknya, Mataram Hadiningrat perlahan pamornya mencorong ke seantero Nusantara.

Panembahan Senopati yang getol melebarkan sayap hingga ke tlatah Jawa Timur, telah menyebabkan situasi di Jawa Tengah kembali panas. Beberapa intrik dan peperangan kecil antara Mataram dan Pajang banyak tertulis dalam babad dan kronik-kronik Mataram. Sebuah upaya gempuran Pajang terhadap Mataram, disebutkan kandas di tengah perjalanan karena letusan Gunung Merapi. Sultan Hadiwijaya wafat karena sakit, akibat terjatuh dari Gajah tunggangannya pada peristiwa itu.

Dengan wafatnya Sultan Hadiwijaya yang menurut DR Purwadi MHum terjadi pada sekitar tahun 1587 M, muncul berbagai intrik perebutan kekuasaan. Ontran-ontran itu mereda ketika Pangeran Benowo, putra sulung Hadiwijaya meminta bantuan Panembahan Senopati untuk menggempur Pajang yang ketika itu dikuasai oleh Harya Pangiri. Pajang akhirnya runtuh. Namun, Benowo menyerahkan kendali kekuasaan kepada Panembahan Senopati. Dengan demikian, berakhirlah riwayat Pajang, dan kejayaan Islam diteruskan oleh Mataram Hadiningrat.


Gamelan Sekaten Dibagi Dua

Berbagai peristiwa sejarah kerajaan-kerajaan besar pewaris jagat Nusantara, tentu saja berdampak pada sekian banyak tradisi yang ada. Sekaten sebagai tradisi warisan leluhur, dari zaman ke zaman juga berubah. Di tengah perkembangan itu, terselip banyak misteri. Salah satunya Gamelan Sekaten, yang berasal dari warisan Brawjaya V dan Sunan Kalijaga. Di manakah keberadaannya, kini?

Gamelan Sekaten sebagai pusaka kerajaan, ikut berpindah tangan mengikuti siapa yang berkuasa. Sejak Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram, sebanyak itulah Gamelan Sekaten berpindah tangan. Namun, perjalanan sejarah belum berakhir. Pasalnya, Mataram Hadiningrat sendiri kemudian juga pecah menjadi dua, pada tahun 1755 Masehi melalui perjanjian Giyanti.

Harta kekayaan termasuk Gamelan Sekaten itu kemudian dibagi dua. Namun, tidak bisa dipastikan manakah dari kedua kerajaan pecahan Mataram Hadiningrat itu yang mendapat Gong Kiai Sekar Delima warisan Brawijaya V dan Gong Kiai Sekati warisan Sunan Kalijaga. Hasil penelitian sejarah sekaten yang dilakukan Depdikbud tahun 1991-1992 hanya menyebut, karena Gamelan Sekaten harus sepasang, masing-masing kerajaan pecahan Mataram Hadiningrat (Solo dan Jogja) membuat Gong baru sebagai pasangannya.

Di Kasultanan Yogyakarta, sepasang Gamelan Sekaten itu oleh Sultan HB I diubah namanya menjadi Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogowilogo. Di Kasunanan Surakarta, Gamelan Sekaten diubah namanya menjadi Gong Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Diduga kuat, dua nama yang sama, Kiai Guntur Madu, merupakan tanda kedua Gong inilah yang asli dari zaman Majapahit